Tuesday, December 25, 2007

KAIZEN (Continous Improvement tools ala perusahaan Jepang)

PENJUALAN GENERAL PENJUALAN GENERAL MOTOR, FORD, DAN TOYOTA MOTOR, FORD, DAN TOYOTA
• Penjualan General Motor dan Ford tahun 2006 menurun 3 miliar USD dan 6,99 miliar USD, sedangkan penjualan Toyota meraih keuntungan 10,2 miliar USD.

PENDEKATAN BUDAYA DALAM PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERUSAHAAN JEPANG PERUSAHAAN JEPANG
• Sejak awal, ketika mengadopsi sistem kualitas, perusahaan-perusahaan Jepang selalu mempertimbangkan budaya setempat.
• Jepang unggul karena menggunakan pendekatan adaptasi budaya dalam penjualan produknya.
• Keunggulan kompetitif produk Jepang adalah budaya organisasi yang akan menjadi "key-drivers."
• Budaya organisasi adalah "soft side," sedangkan "hard side" meliputi struktural, sistem produksi, teknologi, dan desain.
• Ilustrasinya: kita tidak mungkin menerapkan teknologi maju, kalau tidak didukung dengan mindset (budaya) yang memadai.

BUDAYA ORGANISASI BUDAYA ORGANISASI KAIZEN KAIZEN
• Budaya organisasi pada masyarakat Jepang disebut "Kaizen," yang artinya "penyempurnaan berkesinambungan," yang melibatkan semua anggota dalam hirarkhi perusahaan, baik manajemen maupun
karyawan.
• Intinya: kesadaran bahwa manajemen harus memuaskan pelanggan dan memenuhi kebutuhan pelanggan, jika perusahaan ingin tetap eksis, memperoleh laba, dan berkembang.
• Tujuannya: menyempurnakan mutu, proses, sistem, biaya, dan penjadwalan demi kepuasan pelanggan.
• Metode Kaizen: pertama, mengubah cara kerja karyawan sehingga karyawan bekerja lebih produktif, tidak terlalu melelahkan, lebih efisien, dan aman; kedua, memperbaiki peralatan; ketiga, memperbaiki prosedur

INOVASI INOVASI - KAIZEN KAIZEN
• Konsep lain dikenal dengan istilah "Inovasi, " yang merupakan perubahan besar dalam mengikuti perkembangan teknologi. Inovasi menggunakan konsep-konsep dan teknik produksi baru yang bersifat dramatis dan sangat menyolok.
• Dibandingkan dengan "inovasi," Kaizen tidak memerlukan tekni teknik yang canggih dan investasi yang besar.
• Langkah pertama Kaizen, lakukan “Review" terhadap “Standar Kerja“ yang berlaku untuk memeriksa kinerja saat ini; kedua lakukan “Estimasi" seberapa jauh kinerja masih dapat diperbaiki. Jika sudah optimal barulah standar dinaikkan.
• Dampaknya akan terlihat pada “Proses Produksi dan Pasar."
• Produk-produk buatan Jepang dikenal dengan kualitasnya yang bagus dengan harga yang kompetitif.

KAIZEN KAIZEN
• Konsep Kaizen dibagi dalam 3 segmen, yaitu Pertama, berorientasipada manajemen. Manajemen Jepang umumnya percaya bahwaseorang manajer harus menggunakan 50% waktunya untuk penyempurnaan. Mulai dengan mengidentifikasi "pemborosan"maupun "aktivitas karyawan." Kedua, berorientasi pada kelompok"gugus kendali mutu" dan "aktivitas kelompok kecil" untuk mengidentifikasi penyebab masalah, menganalisis, melaksanakan, mencoba tindakan baru, dan menetapkan standar/ prosedur baru. Ketiga, berorientasi pada individu, tercermin dalam bentuk keterampilan karyawan dalam menyampaikan pemikiran dan saran, sebagai upaya pengembangan diri karyawan.
• Kunci utama: setiap karyawan dari berbagai tingkatan agar terus menerus menyempurnakan keahlian dan mengembangkan bakat yang dimiliki, yang dapat meningkatkan kepuasan kerja.

KERJA DALAM TIM KERJA DALAM TIM

• Kepuasan yang sebenarnya terletak pada proses perbaikan itu sendiri melalui usahausaha yang kreatif.
• Kompetensi saja tidak cukup. Yang diperlukan adalah "kemampuan bekerja dalam Tim" secara efektif dengan memanfaatkan keahlian, kemampuan, dan pengetahuan yang dimiliki guna memperbaiki kelemahan dalam perusahaan.

ADOPSI ADOPSI - ADAPTASI ADAPTASI
• Belajar dari Jepang mulai dari restorasi Meiji dengan menyerap teknologi dari Barat, khususnya Jerman, yang kala itu sangat maju teknologinya.
• Nilai-nilai modern "diadopsi dan diadaptasi“ dengan "budaya setempat," agar menjadi budaya yang unggul.

JATI DIRI BANGSA JATI DIRI BANGSA
• Jati diri bangsa dibangun di atas nilai-nilai modern yang "diolah" (diadopsi dan diadaptasi) dengan nilai-nilai tradisi setempat.
• Dalam waktu 25 tahun, Jepang berhasil membangun teknologi sejajar dengan dunia Barat.

PRAKTEK MANAJEMEN PRAKTEK MANAJEMEN
• Jangan menelan mentah-mentah konsep dan prakek manajemen Barat, kita harus "memilah dan memilih" yang sesuai dengan "situasi budaya" kita agar menjadi "praktek manajemen“ yang unggul.
• Ilustrasi: hasil foto kopi tidak pernah lebih baik dari aslinya, tetapi hasil memfotokopi "prinsipprinsip dasar" kemudian mewarnai prinsipprinsip dasar tersebut dengan budaya setempat akan menghasilkan karya yang lebih indah dari aslinya.
wassalam.......

5S dan Sikap Kerja

5 S merupakan singkatan dari lima kata berbahasa Jepang yang memiliki huruf pertama S : Seiri (Pemilahan), Seiton (Penataan), Seiso (Pembersihan), Seiketsu (Pemantapan), dan Shitsuke (Pembiasaan). Lalu apa pengaruhnya bagi kerja? 5 S mampu merubah dan meningkatkan sikap kerja karyawan. Untuk menjelaskan dan meyakinkan bahwa 5 S mampu merubah, bahkan meningkatkan sikap kerja karyawan sebaiknya mencontoh bagaimana seorang ibu menanamkan perilaku anak di tempat tidur. Menjelang tidur, ibu selalu mengulang perintah yang sama : "Cuci kaki, sikat gigi, ganti baju.......Tidur! Ditempat tidur akan dijumpai sprei yang sudah tertata rapi, bantal, guling dan kasur yang sudah selesai dijemur agar anak tersebut dapat tidur dengan nyenyak.
Bangun tidur, orang tua memisahkan sprei yang kena ompol untuk dicuci, kasur dijemur, anak yang bersangkutan dimandikan. Kalau anak tersebut sudah cukup besar, kegiatan ini biasanya dikerjakan sendiri oleh yang bersangkutan. Kita sering mendengar lagu : bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku, bantal guling, bau pesing. Kalau kata "tidur" dirubah menjadi KERJA UTAMA, maka : sebelum kerja utama dilaksanakan, peralatan kerja harus sudah disiapkan terlebih dahulu.

Selesai melakukan kerja utama, dilakukan PEMILAHAN bagi peralatan yang tidak bisa digunakan lagi, yang perlu dibersihkan, atau yang bisa langsung digunakan lagi untuk proses berikutnya. Semua itu dengan tujuan supaya langkah PENATAAN atau persiapan kerja dapat dilakukan dengan mudah dan tidak memakan waktu terlalu lama. Keuntungan lain jika barang tersebut dipilah setelah kerja utama selesai adalah peralatan kerja selalu berada dalam kontrol karyawan dari waktu kewaktu.Kalau diperhatikan kegiatan tidur dengan lebih mendalam : baik sebelum tidur, pada saat tidur, maupun bangun tidur badan selalu diusahakan dalam keadaan bersih. Ini artinya kegiatan PEMBERSIHAN (Seiso) harus selalu dilakukan secara konsisten pada semua tahap, baik itu tahap pemilahan, kerja utama, ataupun penataan. Dengan perkataan lain, baik pada saat persiapan kerja, kerja utama, maupun sesudah bekerja kondisi peralatan diusahakan tetap bersih.

Kegiatan PEMBERSIHAN kalau dilakukan dengan benar, seharusnya membawa dampak lain : inspeksi peralatan. Pada saat membersihkan peralatan kerja, secara sadar atau tidak, karyawan yang bersangkutan akan menyadari adanya kelainan pada peralatan sejak dini. Akibatnya kerusakan bisa ditangani lebih awal. Sehingga, biaya pemeliharaan yang timbul lebih kecil. Dampak lanjutan dari kegiatan ini adalah karyawan akan memiliki kemampuan mencegah timbulnya kerusakan. Bukankah mencegah lebih mudah dari pada mengobati. Tindakan kaum ibu yang konsisten dari hari kehari menciptakan standard kegiatan tidur bagi anak, yang kita sebut dengan PEMANTAPAN (Seiketsu).

Pemantapan sikap kerja memang selalu didukung oleh standardisasi Tanpa standard kerja, akan menjadi tidak jelas apakah pekerjaan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Atau telah terjadi penyimpangan dari ketentuan yang telah digariskan. Standarisasi juga memudahkan bagi kita untuk mengendalikan pekerjaan. Dalam hal terjadi penurunan unjuk kerja, mudah bagi manajemen untuk menentukan : apakah karyawanyang membuat kesalahan karena tidak mengikuti prosedur yang sudah ditentukan ? Atau cara kerja yang menjadi standar kerja perusahaan yang tidak benar ?
Untuk dapat memahami kerja utama (tidur) sebaik-baiknya, kaum ibu dengan tekun melatih putra putrinya memberesken tempat tidur.
Kegiatan PEMBIASAAN (Shiitsuke) tercapai melalui pelatihan yang teratur dan konsisten.Tanpa pelatihan seperti itu, maka standar kerja yang sudah ditetapkan akan sulit tercapai. Andaipun tercapai, kalau bukan karena kebetulan, mungkin harus di dapat dengan susah payah. Hasil yang sama diragukan akan dapat terulang kembali dimasa yang akan datang.

MANFAAT 5 S
Karena peralatan kerja selalu tertata rapi dan dalam kondisi siap pakai setiap saat, maka kerja utama menjadi tidak terganggu. Sehingga waktu yang biasanya dihabiskan untuk menyetel peralatan berkurang, kecepatan kerja meningkat, dampaknya kepada kerja yang makin efisien pula. Sejalan dengan itu produktivitas karyawan akan meningkat.
Produk cacat dan timbulnya pekerjaan ulang sebagai akibat peralatan dalam kondisi tidak memadai lagi (rusak) akan berkurang karena adanya kegiatan PEMBERSIHAN. Ini berarti 5S membantu meningkatkan mutu hasil kerja.
Sebagai konsekwensi logis dari kegiatan PENATAAN atas barang, peralatan kerja, dan ruangan secara harmonis dan bersih setiap saat, maka kecelakaan kerja yang menimpa karyawan juga akan berkurang. Manfaat jangka panjang, adalah terciptanya suasana kerja yang `sejuk`. Lingkungan kerja yang bersih, mutu meningkat dan kerja yang produktif akan membawa karyawan secara tidak sadar merasa ruang kerja sebagai ruang keluarga.
Ini kalau terbina dengan baik akan berlanjut menjadi ruang pamer. Karyawan merasa bangga dengan tempatnya bekerja dan tidak sungkan-sungkan mengundang pelanggan menyaksikan bagaimana barang atau jasa yang akan dibelinya itu dibuat. Karyawan merasa memiliki dan bangga akan tempat kerjanya. Hal itu membuat mereka terdorong untuk mencari cara-cara yang lebih baik dalam bekerja bagi tempat kebanggaannya.
Bagi pihak manajemen, kondisi ini menumbuhkan keyakinan bahwa perusahaan yang dipimpinnya sedang menuju kearah yang benar (on the right track) dan harapan untuk meraih sukses dimasa yang akan datang tampak didepan mata.

PENUTUP
Peningkatan sikap kerja karyawan dapat dicapai dengan menerapkan 5S di perusahaan. Penerapan 5S tidak akan berhasil, pertama, jika tidak didukung oleh komitment pimpinan perusahaan secara terus menerus dan konsisten. Terus menerus berarti tanpa mengenal batas waktu, seperti perjalanan yang tanpa tahu kapan berhentinya. Konsisten, dalam arti tidak hanya mau berkorban biaya, tetapi juga waktu untuk memberikan perhatian secara tulus atas prakarsa bawahan dalam menerapkan 5S. Kedua, diperlukan peranserta bawahan dalam melaksanakan program 5S secara sadar dan sukarela. Sadar bahwa perubahan lingkungan kerja menjadi lebih nyaman merupakan bagian tanggung jawabnya. Sukarela, artinya tanpa dipaksa, diawasi, dan memiliki inisiatif yang cukup tinggi.

wassalam.....

Sunday, December 23, 2007

LEAN OR SIGMA ?

LEAN OR SIGMA ?

INDUSTRIAL MODELS

Throughout industrial history, a few firms have defined the industrial models of
their times. Modern manufacturing starts with Adam Smith’s “pin factory” and the
division of labour in the eighteenth century, which Frederick Taylor perfected as
“scientific management” at Bethlehem Steel in the nineteenth century. In the past
hundred years, taylorist productivity methods progressed to an entirely other level
through Henry Ford’s development of “mass production”. Since then, Taichi Ohno
reinvented the model at the Toyota Motor Company to deal with many of its wastes
and move it away from the “black Ford T” to encompass variety as well as
standardization.
Industrial models are often synthesized in a single catchy phrase such as “one best
way”, “production line” or “Just-in-time”, but these quick description typically
misrepresent the truly profound changes implied in each new model. Taylor’s
insight, for instance, was that by observing how the most effective workers went
about their job, work could be standardized and applied to all. To be able to do so, he
instituted engineers and clerks to realize the time-and-motion studies, piece-rate pay
to identify the most effective workers, special equipment provided by the company
as opposed to workers owning their own tools, and so on. The ultimate consequence
of Taylor’s method was to introduce into basic line organization much of the
functional complexity we deal with now.
Similarly, Ford didn’t just invent the production line. He pushed Taylorism to an
extreme by first standardizing parts (to avoid fitting), dividing labour into smaller
and smaller units, but also paying workers the $5 wage, integrating vertically, and so
on. In the same vein, Just-in-time at Toyota is not simply a matter of kanban cards,
but an entire organizational perspective involving bringing the supermarket in the
factory, continuous improvement through Kaizen, total quality with SPC,
autonomous teams, rethinking equipment for “autonomation” and so on. With
hindsight, there is a clear continuity from the “pin factory” division-of-labour model
to Toyota’s “lean” approach, as each new step solves some of the problematic sideeffects
of the previous incarnation and deals with the increasing complexity of global
competition.

COMPETITIVE PRESSURE

As their success becomes recognized in their industries, such models tend to spread
through sheer competitive pressure. Companies who adopt the new model early gain
sustainable advantage, those who don’t face an uphill struggle and eventually
disappear. This does not mean, however, that adoption is either rapid or easy. In
every case, the new model is fought hard by both workers and management. In
Taylor’s case, owners were adamant not to pay the suggested increase wage to
workers nor to invest in the necessary structure to make taylorism work. Ford’s mass
production model was portrayed as the end of artisanship in the automotive
industry (rightly enough) and ridiculed by Chaplin in Modern Times. The Toyota
model has long been dismissed out of hand as a cultural artefact by established
industrial firms.
Yet, as the success of those who adopt the new model become apparent, firms are
eventually compelled to comply or disband – a struggle in which many try but few
succeed. In the British car industry, at the turn of the XXth century, researchers
counted no less than 130 companies in Coventry alone. By the end of the 1930s, there
were only 20 independent car manufacturers left in the UK1. Adopting a new model
is rarely easy since it usually means a complete change of outlook although not
necessarily a radical change of organization. Furthermore, true experts are rare
although self-proclaimed gurus are many and as a result, reliable knowledge is not
always readily available. Finally, one should never underestimate straightforward
resistance to change, or, in many cases, management’s resistance to understanding.
In the end, the new model becomes firmly established through selective pressure as
the companies having bridged the gap drive all other competitors out of the
http://news.bbc.co.uk/1/hi/business/551543.stm
mainstream market. Nonetheless, even in today’s fast-paced, change-driven society,
the acceptance of new industrial models can be counted in decades rather than years
– it doesn’t happen easily. Is it that only a few firms are capable of confronting such
changes? Not necessarily; change and continuous improvement are by and large
accepted as necessary to modern business survival and most companies are heavily
engaged in change programs – but these initiatives don’t always help them to acquire
new industrial models.

IMPROVEMENT PROGRAMS

In practice, knowledge of new industrial models doesn’t reach executives in one fully
packaged format, complete with detailed explanations and “fieldbook”. As a firm
starts to be recognized for its exceptional performance, observers identify single
aspects of a new model and make their business to convince others to adopt such
“best practices”. Bearing in mind that it is hard to grasp new vistas with old lenses, it
is hardly surprising that the first initiatives driven from early reports of the new
model are not particularly successful. The first inkling the West had of the lean
model, for instance, was through “quality circles”. These became the rage for a few
years, but soon led to disappointment and discredit – in the United States, 75% of the
Quality Circles initiatives started in 1982 had been abandoned by 19862. With 20/20
hindsight it appears fairly obvious that attempting to graft quality circles in
traditional western manufactures was bound to fail.
Still, knowledge arrives in small packets: kanban, then SPC, TPM, SMED, etc. Every
time, the consultants who make a living out of such things tend to explain that their
sliver is the necessary piece of knowledge which will resolve all the problems of the
enterprise. Total Productive Maintenance, for instance, became in several instances
“Total Productive Management” and the TPM approach was then applied to the
company as a whole. Not necessarily a bad thing, but not likely to deliver great
results either. After the spotlight moved away from Total Quality Management (the
extension of SPC to the entire company), it eventually reinvented itself in “Six
Sigma” and some companies currently claim to be “Six Sigma Companies”.

PASCALE, R. T., (1990) Managing On The Edge, New York: Simon & Schuster
Such programs have increasingly become tools of corporate management. Over the
past two decades, with increased competition in winner-takes-all global market the
recognition of a corporate need for constant renewal and improvement has emerged,
hence change programs. In the second half of his tenure, Jack Welch initiated no less
than four widespread initiatives: work-out, boundaryless organization, six sigma and
finally destroyyourbusiness.com. These are not small endeavours. According to
Welch, in 1996, the first year of Six Sigma for instance, GE spent about $200 million in
training 30,000 employees – and got somewhere in the neighbourhood of $150
million in savings3. Most of these gains appeared in service areas, processes
previously untouched by optimisation – results in manufacturing are far less
obvious.
As star companies, always the focus of media attention, invest in such programs, the
business world as a whole embraces new concepts much like fads and fashion
capture the public at large. From 1950 to 1988, Richard Pascale counted more than
thirty management fads – and this before the explosion of the nineties with Reengineering,
Empowerment, TQM, or 6 Sigma. Reengineering, for example, is a good
point in case. The concept of re-engineering companies on a core-process basis
emerged from three realizations. Firstly, the lean concept of lead-time as a key driver
to market dominance emerged in the early nineties as one of the key lessons from the
Japanese industrial offensive of the eighties, as did the notion of continuous
improvement as a source of sustained competitive advantage. Management
consultants Hammer and Champy saw an opportunity to leverage radical
improvement in lead-time by applying information technology to business processes
and thus overcome organizational “functional barriers”4. More than ten years down
the road it is still hard to assess the effectiveness of the various reengineering efforts
of the early nineties, but clearly the re-engineering movement took the business
world by storm, gathering speed in the nineties with a peak around 1994, then
moving on to public services and finally disappearing as a hot topic about 19975:
when all the hype moved on to Six Sigma on the one hand and the “new economy”
on the other. Evidence for this cycle can be backed up with citation analysis in
newspapers, articles or journals which shows a slow growth from1990 to 1992, a
3 WELCH, J. & J. A. BYRNE (2001) Jack, straight from the gut, New York : Warner Books
4 HAMMER, M. & J. CHAMPY (1993) Reengineering the Corporation, London : Nicholas Brealey
5 HOLTHAM, C. (1994) « Business Process Reengineering : contrasting what it is with what it is not », in
C. COULSON-THOMAS (ed.) Business Process Re-engineering : myth and reality, London : Kogan Page
sharp upturn in 1993 peaking in 1994/1995 and a steep plunge in 1996 (with a
significant lag in public sector articles)6. Reengineering is a clear case of taking one
idea – process focus – and applying it across the board to organizations as a matter of
ideology as much as anything else.
This is not to say that such managerial fashions don’t have an overall impact on
industry. Indeed, as sociologist Robert K. Merton pointed out, the ways in which
people define situations have real effects7. The re-engineering movement certainly
transformed how managers think about processes, much as TQM and Six Sigma have
placed fact-based and statistical approaches to the forefront. Yet, most of these
fashions pass to be replaced by the next best thing because, at company level, the
results of such programs are consistently disappointing. Beyond the much publicized
case of a few large corporate programs very few real cases of successes can be found,
and overall the economic effectiveness of these various programs is hard to prove.
Consequently, driven by the need to “do something” (and often be seen by Wall
Street in doing something) senior executives will abandon the current floundering
program for the next best thing.

THE PATH OF LESS RESISTANCE

Industrial models, on the other hand, remain relevant throughout the years. Adam
Smith’s analysis of the pin factory is just as insightful in the XXIst century as it was in
1776. Taylor’s “one best way” is a key to understanding “standardized work”, just as
Ford’s process outlook and economies of scale are still a key component of industrial
success. What each new model does, however, is not “fix” problems, but
revolutionize manager’s total perspective on industrial performance without
adopting the simplistic, one-dimensional outlook of most change programs.
Consequently, models have far longer lifetime and more profound impacts. The few
companies that seriously adopted lean wholesale as opposed to piecemeal are
thriving. Indeed, Toyota, lean’s inventor, is doing better than ever, benefiting from
hard times when its mass-production-with-added-bells-and-whistles competitors are
suffering badly.
6 JONES, M. & R. THWAITES (2000) « Dedicated followers of Fashion : BPR and the Public Sector », in D.
KNIGHTS & H. WILLMOTT (eds.) The Reengineering Revolution, London : Sage
7 MERTON, R. K. (1995) « The Thomas Theorem and the Matthew Effect », Social Forces, 74(2): 379-424

Ultimately, to compete, all companies will have to adopt lean principles simply
because it is currently the only know way to resolve a fundamental industrial
conundrum. As George Stalk phrased it, industrial cost goes down by about 15% to
25% per unit every time volume doubles, but goes up by 20% to 35% when variety
doubles8. At the moment, lean is the only proved way to increase variety and reduce
development-to-market time while maintaining low costs and premium quality. Why
aren’t more companies adopting lean wholesale rather than squander time and effort
on change programs? As any new model, lean has the same short-term advantages as
any other change program: it produces quick-wins, can be implemented on the shop
floor without having to change the entire structure and has the added benefit of
providing a roadmap to progress well beyond gathering the initial “low-hanging
fruits”. Why should companies waste time with Six Sigma (or whatever will come
next) when they could be investing in lean in the first place - and since they’ll have
to do so eventually?
The constant influx of change programs shows that modern firms can no longer be
blamed for “resistance to change”. Indeed, they now seem to be addicted to change
and only slowly coming to terms with the fact that few changes are actually
improvements. The problem with adopting a new industrial model as opposed to a
change initiative is far less a practical one than a “resistance to understanding”. New
models fundamentally challenge management’s perspective on not just specific
practices, but their very instincts and reasoning about how to run their business.
Changing one’s mindset remains one of the greater psychological challenges, and
indeed both companies and entire societies have repeatedly shown that they’re ready
to die rather than shift their outlook.
Contrarily to popular belief, changing practices is far easier than changing
perspectives – which is why programs are so popular. By now, most mass
production companies have accepted and adopted many lean aspects while retaining
their core beliefs in how business works. Consequently, they’re not obtaining the
hoped for breakthrough although they invest in one change initiative after another.
Models are fundamentally different from programs in terms of:
8 STALK, G. JR. (1991) ‘time- the next source of competitive advantage’, the state of strategy, Boston:
Harvard Business Review Press

• Outlook: Ohno’s initial insight of bringing the supermarket in the factory and
enhancing response time through short batches, levelling, just-in-time and
continuous improvement is not just a toolbox to improve the way one
currently runs the shop, it’s a fundamentally different take on where the
industrial economies of scale can be found and how to succeed on competitive
markets.
• System: consequently, a model is not simply an assortment of techniques – it’s
a system. Used independently of one another, the tools will produce local
benefits, much like Sigma or other projects will, but that’s also as far as it goes.
Used as a system however, lean tools can progressively transform operations
and lead the firm from the old model to the new.
• Roadmaps: program tools tend to be fairly one-dimensional. Six Sigma tools,
for instance, will help teams to resolve specific issues but will rarely lead them
to challenge the fundamental ways they operate and once one project is
concluded, it hardly tells them where to focus next. On the other hand, the
lean model has a roadmap to transformation which follows a step-by-step
approach from early quick-wins to more fundamental transformations.
Adopting a new model rather than a change program is not any more difficult on the
shop floor, or longer to show results, but it is harder in unexpected ways: it demands
from senior management both a considerable intellectual investment and constancy
of purpose. As one of the key developers of lean, Shigeo Shingo, points out:
“In order to successfully implement the Toyota production system [lean], you must have a
correct understanding of the basic ideas behind these principles and the knowledge of methods
and techniques to be able to implement them in a systematic way; otherwise, I fear you are
likely to make serious mistakes which will result in the failure of the system – even if you have
a clear understanding of individual techniques”9
One of the most robust psychological findings of the past century is “cognitive
dissonance”: we cling to our outlook and tend to dismiss or explain away dissenting
evidence. Changing one’s perspective doesn’t come naturally and requires the time
and effort to understand what the new model is really about, beyond the obvious
“best practices”. In many unfortunate cases, lean techniques have been modified to
fit the existing perspective of the factory, leading to bizarre consequences. Secondly,
constancy of purpose is essential because old habits die hard and instincts are
difficult to change. As managers implement the new model, they need to question
9 SHINGO, S. (1981) A Study of the Toyota Production System, Cambridge : Productivity press

every new situation in this light not to fall unawares in the old ways of thinking and
follow the path of least resistance back to square one.
All in all, adopting a new model requires ambition for the company as well as for
oneself. To many executives, change programs are an attractive alternative: they
produce quick, easily quantifiable results and don’t challenge the core thinking of the
firm’s line hierarchy. Change programs are also easy to explain and communicate.
They are a great vehicle to get people enthused and on board. Unfortunately, change
programs do not deliver in the long run. Astonishingly, after endless initiatives and
change drives, the big three automakers are no nearer to becoming lean and Toyota
continues to steadily gain market share.

SHORT TERM LONG-TERM BENEFITS

Model: productivity and quality shop
floor quick wins and opening the
minds of management and workers
Program: quantifiable quick wins in
individual or team projects which can
be done “on the side”
Model: change of perspective which
leads to a transformation of how
business is done and is a fundamental
source of competitive advantage. Also
increased barriers to competitors since
the new model is harder to acquire
Program: few long-term benefits which
leads to the abandonment of this
program and its replacement by the next
best thing
BARRIERS
Model: resistance to understanding –
as long as management has not
acquired the new outlook the
performance of the tools is
disappointing
Program: other than the cash outlay to
get things started, there are few
barriers to implementing a change
program beyond the cynicism of
experienced employees
Model: requires intellectual investment
and constancy of purpose from senior
management. To succeed in changing
the firm’s model, top management has
to get involved in more than giving a
distant blessing and signing the check
Program: no synergy from the various
spot actions which leads to
disappointing results, weariness and
ultimately disregard fro the program

A VISION OF EXCELLENCE

At the end of the day, although a lean plant is easily recognizable, no one has ever
seen a “Six Sigma” plant – nor an “empowered” plant, or yet again a “re-engineered”
supply chain and so on. Fundamentally, industrial models sponsor clear visions of
excellence in the real world of value-production. Such visions are the driving force
behind the implementation results of each new model. On the other side, most
programs tackle the side-effects of the existing industrial model, rarely proposing a
new, practical, vision. The difference is essential to the continuing progress of the
plant. As one implements lean, the factory gets transformed in practice and new
opportunities for further progress appear. For instance, a “5S” exercise will clean up
the shop floor and uncontrolled inventories will become obvious (as many other
things such as product defectives, poorly maintained tools etc.). A machine with a
stock of parts behind it is a sign of either machine reliability issues or poor quality of
produced parts. At the next level, for instance, setting up a shop stock and a kanban
production trigger will render visual the variations in production. For example, a line
with a full shop stock (overflowing somewhere else in the plant maybe?) and an
empty kanban queue is a sure sign of overlong production runs, and so forth. As the
new model is implemented, the reality of the vision of excellence is uncovered in the
factory – and guides managers in their improvement efforts. For all their worth,
programs can’t go any further than a sequence of solved unrelated problems.
Programs are only considered as serious alternatives to models as a result of shortterm
biases, in the same way that business constantly suffers the bandwagon effects
of fads and fashions which lead to inevitable bubbles and the following panics. At a
given point in time, both executives and business media tend to focus on well
publicised, simple business strategies which make sense at a given point in time but
unfailingly turn out to be flawed (think about the “new economy” and its disdainful
disregard for earnings until 2001). Programs are easy sells, both to management,
employees and investors. A new model such as lean, on the other hand, has been
around for decades, has many validated success stories on the long-run, not just a
few high-profile showcases, but is far less immediately attractive to the management
fashion industry. Ironically, most industrial programs originate in the lean model:
quality circles, SPC, just-in-time, total productive maintenance, continuous
improvement, autonomous teams and supply chain management. But, much like
pacific islanders which proudly wore western hats with their traditional costume,
rather than acquire the discipline of the entire suits, companies find it easier to pick
on some aspect or other, only to be disappointed with their performance when it
appears that new hat notwithstanding the king is still naked.
In the long run, the choice between implementing a model or a program, lean or Six
Sigma does not so much reflect on the effectiveness of the tools and techniques, but
on the management flair of the executive team. Senior managers are, as they should
be, ambitious – but are they ambitious for themselves of for their company? Pushing
one program after the other is much like picking stocks because others on the market
are buying them: although the strategy has been proved to be flawed time and time
again and leads to bubbles and the subsequent crashes, many fund managers still do
so. Investing in transforming one’s operations by implementing a new business
model is like purchasing stocks of companies after careful research and full
confidence that the price of the stock reflects the value-production future of the
company. Although all investors know this is how they should proceed, not many
can be bothered; the few who do so consistently prosper beyond any expectation.

Alur Kerja Repro House

Alur Kerja di Reprohouse
Reprohouse adalah sebuah perusahaan yg memberikan jasa pembuatan film separasi dan progressive proof.
Proses alur kerja dimulai dgn menerima data digital dari advertising / customer (saat ini semua gambar digital biasanya langsung dari kamera digital, jadi customer jarang membawa [b]photo/slide[/i] utk di scan).
Data digital itu lalu dibuka di PC/macintosh utk diperiksa kelengkapannya agar tdk terjadi masalah pada output film.
Lalu data tsb dibuat menjadi data postscript atau file PDF dan di output ke imagesetter (CtF) melalui RIP (Raster Image Processor), utk menjadi film separasi.
Lalu melalui platemaker dikontak menjadi pelat cetak dan siap dibuat progressive proof.bagaimana menilai film separasi yg baik?sebuah reprohouse yg baik harus melakukan kalibrasi film secara rutin utk menjaga kualitas film separasinya.
Alat ukur yg dipakai utk kalibrasi berupa densitometer.
Ada beberapa hal yg hrs diperhatikan utk memeriksa kualitas dr film separasi, antara lain : register, density, dan linerisasi.
1.densityadalah nilai kepekatan film separasi. Nilai density maksimum yg disarankan adalah 3.8 - 4.2 D.Utk mengetahui nilai density suatu film, hrs menggunakan alat ukur densitomer transparancy. Nilai density yg rendah akan mengakibatkan warna solid pada hasil cetakan akan terlihat pudar atau warnanya tidak pekat. Salah satu penyebab density rendah adalah krn kondisi processor yg kurang baik.2. linearisasi dot (raster)linearisasi dot artinya raster 50% pada file digital harus keluar 50% jg pada film dengan toleransi lebih kurang 2%progressive proofadalah suatu proses proof cetak yg dilakukan menggunakan sistem cetak offset dlm bentuk yg lebih sederhana dan manual.progressive proof sering disebut jg dgn proof konvensional atau proof manual.Progressive proof ini digunakan sbg panduan warna percetakan. Sistem ini digunakan selama alur kerja kita masih menggunakan imagesetter (CtF).Proses pembuatan proof ini dilakukan satu per satu seperti pada percetakan menggunakan mesin satu warna.Saat ini kondisi mesin proof semakin kurang optimal dan sudah tdk diproduksi lagi, sehingga suku cadangnya sudah tidak lagi ditunjang oleh vendor (pembuatnya) dan biaya perawatannya menjadi lebih mahal.kelebihan Progressive Proof1. Lebih 'aman' dijadikan contract proof karena saat produksi jg menggunakan separasi yg sama.2. Simulasi utk hasil cetak sebenarnya lebih mendekati karena sama2 menggunakan komponen cetak yg sama.3. Utk warna khusus yg sangat mirip sesuai produksi akhir sehingga biaya cukup mahal.kekurangan Progressive Proof1. Prosesnya dilakukan secara manual sehingga sulit dibuat standarisasi dan kurang konsisten.2. Memiliki masalah kerataan tinta pada seluruh bidang cetak.3. Warna yg tidak stabil, sehingga tiap lembar memiliki warna berbeda.4. Kurang efisien, karena tetap memerlukan film separasi5. Perlu ruang kerja yg luas.6. Biaya produksi menjadi lebih tinggi, karena memakai bahan baku pelat, kertas, tinta, chemical dan tenaga operator lebih dari satu.7. Warna suatu gambar akan dipengaruhi warna dominan di sekitarnya.Ketika warna hasil progresive proof yg pertama tidak sesuai, maka umumnya customer minta diulang.Pengulangan tsb biasa dilakukan dgn cara : pertama, mengganti film separasinya dan mengedit digital filenya terlebi dahulu, ataucara kedua, tetap menggunakan film yg sama, namun jumlah tintanya diatur saat cetak progresive proof, hal ini sangat mudah dilakukan mengingat semua proses dilakukan secara manual.Digital Color ProofingTidak semua Reprohouse menyediakan jasa digital color proofing. Pada umumnya hanya film separasi dan progressive proof.Namun seiring dgn perkembangan teknologi, digital proofing semakin pesat dan memungkinkan warna hasil cetak dapat disimulasi sedekat mgkn dgn hasil digital proofing.Kebutuhan waktu yg lebih cepat dan faktor efisiensi mendorong sebuah Reprohouse utk ber-investasi digital proofing*catatan *Warna pada digital proofing sebuah Reprohouse mengacu pada warna progressive proof, dimana batas kertas pada progressive proof terbatas pada artpaper. HVS atau kertas koran yg belum tentu sama dgn kertas sebenarnya saat cetak.*tips*jika digital proofing ingin digunakan sbg panduan warna, maka digital proofing harus menggunakan RIP Color Management dan dikalibrasi dgn benar.

brikut penjelasan lebih lanjut mengenai langkah persiapan FA sebelum naik cetak.. diambil dr buku Anne Dameria.. (gw gabung ma kata2 gw ndiri)smoga bisa membantu tmn2 skalian.. :1. selalu persiapan gambar original sebaik mungkinistilahnya dsini.. Garbage In.. Garbage out.. (kalo yg diolah gambar dgn kualitas rendah (ukuran file kecil.. resolusi cuma 72dpi) maka hasil produksi yg dihasilkan tentu nya pasti akan kurang baik jg..2. gunakan software photoshop utk mengolah gambargunakan ptshop utk mengolah foto yg nantinya akan dpakai utk produksi cetak. software lain seperti windows picture and fax viewer atau photopaint sangat tidak dianjurkan..3. konversi RGB ke CMYKhal ini sangat perlu dlakukan.. mengingat ada bbrp scanner ato digcam yg bekerja dgn warna RGB. seringkali terjadi pnurunan warna dr RGB k CMYK. seberapa jauh pnurunan tsb pertama dsebabkan adanya perbedaan colorspace antara RGB n CMYk dmn colorspace RGB lebih besar drpd CMYK4. resolusi gambarresolusi gambar adalah bnyk nya elemen yg membentuk sebuah gambar. dmn besarnya dnyatakan dlm ppi (pixel per inch) ato dpi (dot per inch).untuk mengetahui resolusi input utk cetak yg tepat, dpt dgunakan rumus : 2 x screen ruling. jika screen ruling yg dpakai adalah 150 lpi maka resolusi inputnya menjd 300 dpi (kalo binun ud... biar aman nya slalu gunakan 300 dpi aj.. hehehe.. okz?)screen ruling pd percetakan jg sering dsebut sbg raster.. ato screen frequency. ini berpengaruh pd jenis kertas yg nanti nya akan dpakai utk cetak.5. analisa dan koreksi gambar digitalyg paling penting :* tentukan bagian highlight (white point) dan shadow (dark point)caranya dgn menggunakan menu curve ato level pd photoshop* color cast (warna bias)warna bias sering tidak diinginkan, misalkan warna yellowish (kekuningan), redish (kemerahan), bluish (kebiruan). cara membuang warna ini adalah dgn menu curve, selective color ato color balance* tone (kontras warna - untuk menghindari gambar terlihat 'datar' - flat)caranya dgn menu curve (perbaiki pada midtone)* koreksi warnacaranya bisa menggunakan menu selective color* sharpness / ketajamandpt dgn menu unsharp masking6. format file* tiff (tagged image file format)merupakan format file yg tdk terkompres utk memelihara kelengkapan data warna yg terekam* eps (encapsulated postscript)format inin dpt dgunakan utk mengirimkan informasi gambar bitmap postscript dr satu prog. k prog. lain. dpt dterapkan pd gambar vektor atopun bitmap* jpeg (joint photography expert group)file nya ud kkompres utk mobilitas data yg tinggi dan praktis* dcs (penjelasan utk yg ini bnr2 lebih k arah mesin cetak n CtP.. souw.. kita lwtkan aj y)* pdf (portable document format)adalah format file yg digunakan stlh smua pekerjaan sudah dbuat n siap untuk d output. kelebihan nya adalah : dpt mengkompresi data namun dgn kualitas baik, dan bersifat cross platform shingga dpt dbuka baik d PC maupun macintosh..

7. jgn lupa me -link imagestlh kita bikin desain, kumpulkan gambar dlm 1 folder tersendiri dgn dmikian tdk akan terjadi missing link saat proses output8. textteks jgn lupa.. hrs d convert to path atau d create outline.. ato bahasa keren nya.. 'dimatikan'..kalo pun tidak bs dmatikan, selalu sertakan jenis fonts yg dpakai dlm 1 folderbtw.. jgn lupa jg.. fonts jgn tlalu kecil.. karena akan menyulitkan pembacaan9. gambar vektor* pastikan sudah CMYK* buang element2 yg ga dperlukan..misalkan kita akan membuat sbuah bodytext.. tp ternyata tdk jd.. nah.. sampah2.. seperti text area tsb hrs dbuang.. * hindari penggunaan path yg tlalu bnyk..* pastikan warna desain vektor kita sesuai dgn color chart..* overprint (nah ini dia ni!! : )overprint adalah suatu proses perpaduan lapisan warna dr sebuah object.tujuan dilakukan overprint adalah utk menghindari terjadi nya miss register.tp..... kalo penggunaan overprint tidak tepat akan terjadi masalah.. : seperti contoh brikut ini :- teks hitam dgn background warnakalo jenis ini.. harus di overprint.. karena jika terjadi miss register,, maka akan timbul warna putih dsekeliling teks. warna itu muncul krn pada area background yg dtmpt-i teks tidak tertutup oleh tinta (jd pergeseran ada pd plat cetak.. ini ksalahan pas cetakan)- teks warna dgn background warna..teks warna dgn background warna tidak boleh di overprint.. krn warna teks akan bergabung dgn warna background..- teks putih..teks putih juga tidak boleh di overprint.. ouw y.. contoh gampang nya gini d...u pd pnh liat koran ato tabloid dmn teks nya warna nya tu kabur ga?nah itu gara2 teks nya tersebut dbaca n dcetak 4 warna oleh si mesin cetak.. souw.. dmn misalkan warna yg td nya diinginkan hanya hitam pekat.. (hanya black 100%) ternyata dbaca 4 warna oleh si mesin cetak ( C M Y K ) gitu..ada lagi,.. temen nya overprint itu namanya* trappingadalah metode utk menghindari masalah register d percetakan dgn menambahkan shape pada pinggir object sebesar 0.15 - 0.30 mm. dmn pd saat cetak kan bs aj terjadi pengembangan kertas shingga menimbulkan miss register, sehingga menimbulkan 'efek putih' yg tidak diinginkan.menu ini pada freehand ada di : window>toolbar>Xtra operations>trapouw y.. efek ini sangat dperlukan bila menggunakan warna spot atau khusus.. dan juga dalam industri packaging trutama gravure.gampang nya gini.. u pnh liat dmajalah ato koran/ tabloid suatu gambar yg pinggiran nya ada muncul warna putih kan? nan itu yg dnamakan miss register tanpa trapping..skian dr saya..melaporkan dr tmpt kejadian.. : okz d. smoga bmanfaat utk rekan2 skalian..

Alur Kerja CtPCtP Computer to Plate merupakan teknologi yg hadir menggantikan Computer to Film.Kalo dulu, customer harus membuat film separasi dahulu di reprohouse, skrg dapat langsung ke percetakan yg menggunakan Computer to Plate.Beberapa kelebihan CtP antara lain :1. Waktu persiapan yg lebi cepatKemampuan CtP menghasilkan yg register, fasilitas pembuatan digital / imposisi dalam alur kerja CtP menyebabkan mesin cetak lebih cepat mendapatkan warna dan register saat mencetak karena make ready time nya lebih pendek. Waste kertas yg terbuang pun jadi lebih sedikit. Cetakan juga bersih karena terhindar dari kotoran2 bila kurang hati2 saat montase manualBila waktu persiapan menjadi lebih pendek, maka volume pekerjaan dapat meningkat dan tentu saja hal tsb merupakan income bagi perusahaan. Bagi desainer sendiri, teknologi CtP sangat membantu menghemat waktu dan biaya karena tidak menggunakan film separasi.2. Kualitas dot lebih baik,hal ini dikarenakan berupa 'First Dot Generation[/i] sehingga detail pada daerah Highlight dan Shadow dapat lebih baik.3. Lebih mudah menerapkan aplikasi FM Screening,yg merupakan teknologi raster yg sangat berguna utk meningkatkan kualitas cetak / gambar.4. Last minute correction,dapat lebih cepat dilakukan karena CtP dan percetakan berada dalam satu area.Beberapa komponen pendukung dlm alur kerja CtP yg perlu diketahui, antara lain :* pembuatan PDF,* imposisi digital* digital color proofing

Stochastic Screening (FM Screening)Istilah lain yg sering digunakan adalah FM screening, yaitu sebuah metode dimana reproduksi gambar dilakukan dengan besar titik yg sama namun jaraknya berbeda. Nada dan warna dikontrol melalui jumlah titik pada nada / warna itu sendiri, bagian gelap diwakili dgn titik yg paling bnyk, bagian terang diwakili dgn titik yg sedikit.Kelebihan dari metode ini dibanding dengan Halftone Screening adalah :1. gambar terlihat lebih mendekati foto / continuous tone.2. tidak menimbulkan moire, khususnya gambar2 yg memiliki moire pattern.3. tidak ada efek rossate (motif kembang akibat perbedaan sudut tiap dot), misalkan gambar AC, jok kursi, kain, dll.Pada penerapan Computer to Plate CtP, metode ini menjadi option yg sangat dianjurkan krn dpt memberikan alternatif dlm meningkatkan kualitas hasil cetak.Penamaan FM screening pada setiap vendor berbeda-beda, antara lain :a. Esko=Graphics mengenalkan Monet Stochastic Screening dan HighLine Screeningb. Agfa meluncurkan [i]Crystal Raster Stochastic Screening dan Sublima Screeningc. Screen meluncurkan Spekta Screeningd. Creo meluncurkan Staccato Stochastic Screeninge. Heidelberg meluncurkan Diamond Screening dan Satin ScreeningImposisiImposisi disebut juga dgn istilah Montase. Imposisi merupakan salah satu tahap pada bagian pracetak yg melakukan penggabungan beberapa film separasi dgn mengikuti nomer halaman dan ketentuan tertentu, agar susunan halaman pada pelat cetak dpt digunakan secara optimal.Ada 2 cara imposisi, yaitu manual dan elektronik :1. imposisi manualLembaran film yg di output dari imagesetter disusun secara manual dgn ukuran pelat dan mesin cetak yg digunakan.Kelemahan sistem ini adalah waktu pengerjaan yg lama dan sering terjadi missregister (human error), diakibatkan kurang teliti nya sumber daya manusia dan perubahan dot karena harus dikontak lagi ke plat cetak.

Manajemen Desain Grafis
Posted by Inco on Jun 5, '06 2:34 PM for everyoneSeringkali saya mendapatkan pertanyaan dari beberapa teman-teman yang kebetulan mendapat sebuah project (side job)"Berapa sih harga sebuah brosur?" atau bahkan "Kok harga desain katalog sama denga desain poster?"Sebuah wacana yang tak pernah kunjung selesai: "Bagaimana menetapkan harga sebuah desain?"Setahu saya, lulusan DKV saat ini mempunyai skill yang cukup baik, beberapa bahkan di atas rata2 (kalau tidak mau dibilang DASYAT!). Tapi ketika dapet sebuah project (yang sebenernya kecil) langsung gelagepan dan bingung setengah mati. Tanya sana, tanya sini, tanya teman dan tanya sama para seniornya.Trus kalo dibilang misalkan sebuah angka mereka bilang: "Kok segitu sih? Kecil banget... Desain kan mahal!"Intinya adalah manajemen! Pak Bastian, pernah dulu bilang ke saya: "Desain yang bagus itu yang sudah dibayar!"Masalah klasik, tapi perlu pemahaman yang lebih modern saat ini.Setiap desainer, selain memiliki hak untuk dibayar, juga memiliki kewajiban untuk membuat manajemen dalam desain grafis. Apa itu? Bukan Cuma kasih harga sekian, bikin, jadi trus dibayar!Desainer yang baik dan mampu bersaing, harusnya mampu melakukan lebih dari sekedar itu semua.Dalam sebuah project, baik itu besar maupun kecil haruslah memakai prosedur standar. Hal ini perlu dilakukan agar kita sebagai desainer mampu melakukan tugas secara profesional dan tidak disepelekan (baca: dimainin!) oleh klien.Banyak juga terdengar cerita dari teman-teman yang mengeluh klien-nya rese, revisi terus menerus, harga yang tak pantas, dan waktu kerja yang molor terus. Ini adalah isyu yang menarik, karena banyak dari para rekan2 desainer yang dengan terpaksa menerima prpject dan klien yang tidak jelas dengan ucapan: "Gak papa deh, dari pada gak ada kerjaan."Intinya adalah segala sesuatunya dimulai dari pro-aktif desainer, bukan dari klien. Kenapa? Karena klien datang kepada desainer dengan sebuah masalah. Dan sudah selayaknya kita desainer tidak lagi merepotkan mereka dengan ini-itu dan mampu menciptakan sebuah solusi yang tepat untuk permasalahan mereka.Kemarin sore, seorang Dosen men-share beberapa tips dalam manajemen desain grafis.Bahwa elemen-elemen dalam manajemen tersebut adalah:1. PlanningDalam tahapan ini perlu adanya perencanaan yang matang pada awal sebelum project dimulai. Perencanaan meliputi:- Time Planning, seperti membuat timeline project yang harus disetujui oleh klien. Timeline dibuat secara detail mulai dari proses konsep, desain, FA, sampai produksi, tergantung dari permintaan klien. Yang pasti disini terlihat profesionalisme kita para desainer dalam menghargai waktu dan deadline.- Work Planning, seperti membuat workflow yang jelas. Tahapan demi tahapan disebutkan secara detail sehinggal klien tidak bisa seenak-enaknya mundur lagi ketahapan awal kalo dia sudah approval tahapan selanjutnya. Bisanya dibuat yang namanya Appoval Form untuk ditandatangani klien per tahapan project.- Financial Planning/Budgeting. Sering disebut quotation yaitu penawaran harga. Mesti dihitung secara detail penggabungan antara design fee dengan ongkos/biaya lain seperti kertas, print, pembuatan mock-up, fotografi, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan desain yang dibuat. Hal ini dimaksudkan agar jangan terjadi kerugian secara finansial bagi desainer itu sendiri. Karena material dan biaya.ongkos seperti diatas itu TIDAK TERMASUK ke dalam design fee.2. OrginizingMengatur semua elemen-elemen dalam proyek tersebut. Siapa-siapa saja yang bertanggungjawab dalam project tersebut.3. StuffingMemaksimalkan segala fungsi-fungsi team yang ada. Misalkan kita sebagai seorang desainer bisa meminta tolong pembantu untuk memfoto copy, kurir untuk mengantarkan barang, atau paste up artist untuk membuat mock-up. Kalau pun pada akhirnya seorang desainer itu mengerjakan semua, maka harus dihitung tenaga dan waktu yang dikeluarkan.4. DirectingSeorang desainer harus mampu mengarahkan, mengatur, dan memotivasi diri sendiri dalam sebuah project guna tercapaikan tujuan project tersebut yang yang pada akhirnya akan menjadi sebuah solusi bagi masalah klien.5. ControllingIni yang sering dilupakan. Buatlah sebuah form checklist dalam setiap project untuk menghindari kesalahan-kesalahan kecil. Form berguna untuk memeriksa kembali apakah desain yang kita buat sudah sesuai denga brief dan mandatory klien. Sering kali karena kesalahan kecil, seorang desainer harus menderita kerugian yang begitu besar. Misalkan saya salah ketik huruf, lupa konversi warna ke CMYK dan sebagainya.Semoga tips di atas bisa berguna bagi kita semua. Saya mendapat pelajaran yang berharga dari tips-tips di atas, bahwa ternyata skill bagus aja gak cukup kalo kerja tidak sistematis dan gak bisa kejual secara layak!Besar keinginan saya bahwa ini tulisan ini hanyalah sebagai pembuka jalan. Masih banyak yang bisa kita diskusikan, dibantah, atau dipertajam guna kemajuan kita bersama.

Friday, December 21, 2007

SOLUSI ROTOGRAVURE

Bagi teman teman yang ingin berdiskusi mengenai seputar Rotogravure atau Kobetsu Kaizen, TPM, 5S silahkan ikutan nimbrung di blog ini.